Tentang Upacara-upacara dan Peribadatan
Tentang Keagamaan orang Tengger dipaparkan secara detail dalam serat Centhini, dalam Serat itu didiceritakanagaimana adat dan tata cara beragama masyarakat Tengger dan Dewa-dewa mereka, seperti Dewa Brahma, Wisnu, Indra, Bayu, Sambo, dan juga kepercayaan terhadap Kala.Orang-orang Tengger beribadah dan menjalankan adat istiadat mereka dengan menghayati sesanti Titi Luri, yaitu mengikuti jejak leluhur, meneruskan kepercayaan dan budaya nenek moyang mereka. Tetap terpelihara selama berabad-abad dalam naskah lontar yang hanya dibaca oleh para pendeta, tata cara peribadatan tersebut memberikan cakrawala yang sangat penting mengenai tradisi keimanan mereka.
Meskipun dalam keseharian disebut dukun–yang kini kata itu lebih banyak dimaknai negatif– dahulu istilah ini dipakai hampir di seluruh Jawa untuk ahli adat yang memiliki pengetahuan khusus, dalam doa yang sangat tua dan sangat rahasia, para pendeta Tengger ini juga disebut resi pujangga.
Para pendeta bukanlah dari kelas sosial tertentu. Tugas pendeta adalah menyapa dan memohon kepada para dewa dan leluhur pelindung. Pada saat seperti itu, kehadiran kepala desa dibutuhkan untuk menyaksikan permohonan.
Seorang Dukun dalam tugasnya ia dibantu oleh Wong Sepuh yang bertugas membantu menyiapkan sesaji upacara. Legen, yang bertugas mempersiapkan peralatan dan perlengkapan upacara perkawinan. Dukun Sunat, dan dukun Bayi.
1. Upacara Kasadha
Dalam banyak upacara, termasuk upacara Kasadha, para pendeta seolah memohon kepada para leluhur, dalam peribadatan para pendeta mengucapkan sesuatu tidak menyebut Dewa Kusuma atau leluhur lainnya.
Sebaliknya,
doa-doa yang diucapkan, seperti yang terjadi pada bulan terakhir
kalender Tengger, upacara itu merupakan permohonan bagi pembaruan dunia
yang ditujukan pada dewa maha agung yang diakui dalam peribadatan; Siwa.
Pada perayaan Tengger terbesar, Kasadha,
orang-orang desa berduyun-duyun ke lereng Gunung Bromo mempersembahkan
kurban dan hewan kepada roh gunung berapi yang masih aktif untuk meminta
keselamatan dan berkah.
Tema
persembahan kepada roh gunung merupakan tema yang umum dalam tradisi
masa lalu dan mungkin menjadi cikal bakal upacara Gunung Bromo seperti
terlukis dalam catatan kerajaan Jawa lebih dari seribu tahun lalu.
Dalam tradisi masyarakat setempat upacara Kasadha
juga ditujukan sebagai peringatan pengorbanan dari Raden Kusuma yang
merupakan keturunan Jaka Seger dan lara Anteng. Upacara ini digelar
setiap tahun padat tanggal 14 sampai dengan 16 saat bulan purnama pada
bulan ke-12; Asuji (Kasadha).
Melalui
permohonan kepada Siwa dan istrinya, Uma, dan dengan usaha membersihkan
dunia dari gangguan setan Kala dan Durga, dalam tata cara
peribadatannya, memiliki unsur yang sangat banyak kesamaan dengan
peribadatan resi bujangga di masa Bali modern, yaitu pendeta dari kalangan biasa (non Brahman dan non-triwangsa).
Doa yang dikenal di Bali dan Tengger merupakan “pujian awal terciptanya dunia” (Purwabumi),
terdapat ke sejajaran baris demi baris, sesuatu yang cukup menarik
mengingat Hindu Bali dan Tengger tidak lagi memiliki hubungan budaya
langsung sejak akhir abad ke-18.
Dalam upacara Kasadha
atau juga sering disebut dengan upacara kurban, biasanya digelar
serangkaian hiburan dan pertunjukan seperti tari-tarian, balapan kuda
dan kemeriahan lainnya. Tahapan upacara Kasadha ini yaitu Puja purkawa, Manggala, Ngulat umat, Tri sandiya, Muspa, Bija, Diksa widhi, Palukatan, Penyerahan kurban di kawah Bromo.
Prosesi dimulai saat Sadya kala puja dan berakhir saat Surya puja ketika seluruh masyarakat Tengger berduyun-duyun menuju Gunung Bromo untuk menyerahkan korban. Setelah selesai upacara, ongkek
(yang secara harfiah berarti sesuatu yang dipikul dengan bahu) yang
berisi sesaji 30 macam buah-buahan dan makanan yang di lempar ke kawah
Gunung Bromo sebagai sebuah simbol pengorbanan nenek moyang.
Yang menarik dari ongkek
adalah bahan untuk membuatnya harus diambil dari wilayah desa yang
selama setahun atau lebih tidak terdapat wargayanya yang meninggal.
Dalam wilayah-wilayah tertentu, ongkek merupakan upacara tersendiri yang dilaksanakan beberapa hari sebelum upacara Kasadha di Lereng Gunung Bromo.
Tujuan upacara untuk memberi tahu Dewa gunung api itu bahwa akan diadakan upacara. Sesajen ongkek dianggap salah satu upacara yang tua dan memiliki unsur yang lebih tradisional dari upacara Kasadha yang sebenarnya.
Upacara Kasadha juga dipakai untuk mengukuhkan calon dukun baru (Diksa Widhi), pengukuhan sesepuh Tengger, dan pemberkatan serta penyucian umat (Palukata).
2. Upacara Karo
Selain itu juga ada Upacara Karo. Perayaan desa yang cukup besar yaitu Karo yang secara sederhana artinya “dua” atau “keduanya”. Hari raya Karo ini biasanya dirayakan pada bulan Karo
(Bulan ke-2 dalam sistem kalender orang Tengger). Umumnya dipahami
sebagai upacara suci yang saling berpasangan yang merupakan sumber
kehidupan: bumi dan langit, tanah dan air, lelaki dan perempuan, dan,
yang sangat menarik, Muhammad dan Ajisaka.
Ajisaka
adalah “tokoh” budaya Jawa yang sangat populer juga legendaris, yang
oleh masyarakat Tengger dianggap sebagai pendiri kepercayaan merreka.
Pada pertengahan abad ke-20, ketika makin banyak tekanan bagi orang
Tengger untuk beralih ke agama Islam, dengan menggelar tema kebersamaan
antara “pengikut Muhammad” dan “pengikut Ajisaka”, merupakan pusat
perayaan umum yang mengiringi Karo, dan dirayakan dalam berbagai upacara
yang didasarkan atas legenda yang terkenal tersebut.
Para
peneliti Belanda yang bekerja di Tengger pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20 tidak menemukan rujukan Ajisaka dan Muhammad. Tata cara dalam
peribadatan yang masih berlaku masa kini di puncak perayaan Karo sama
sekali tidak menyebut dua tokoh itu.
Sebaliknya,
doa yang dibawakan oleh para pendeta justru memohon “dewa bunga” dan
jika diperhatikan dengan saksama, ia adalah julukan lain Siwa. Budaya
keagamaan populer yang tercermin dalam Karo tampaknya telah banyak
mengalami sinkretisme dengan Islam di Jawa dengan memperkecil rujukan
agama Hindu dan menekankan rujukan kerohanian Jawa.
Masyarakat Tengger bisanya akan mengenakan pakaian-pakaian baru, dengan makanan dan minuman yang melimpah di setiap rumah. Karo benar-benar seperti perayaan lebaran atau hari raya islam–atau mungkin sesebaliknya
Mereka akan saling berkunjung dan bermaaf-maafan ke rumah sanak saudara maupun kerabat, tetangga untuk silaturahmi. Perayaan Karo bisa digelar selama berhari-hari bahkan minggu.
Perayaan
yang penuh suka cita, dan pesta ini dirayakan oleh hampir seluruh orang
Tengger tanpa terkecuali. Tujuan perayaan Karo adalah pemujaan pada
Sang Hyang Widi Wasa, menghormati leluhur, memperingati
asal-usul mereka, kembali kepada kesucian, memusnahkan angkara murka,
berbagi, dan rasa syukur.
3. Entas Entas, Menyucikan Jiwa
Entas-entas
merupakan suatu upacara yang berlangsung selama tiga hari untuk
membantu roh orang mati menemukan jalan ke surga. Tiga jenis roh
didiwakilileh patung-patung kecil (Petra/bespa) yang dibuat
dari dedaunan dan bunga. Mereka merupakan Roh keluarga dekat yang harus
disucikan sebelum naik ke surga, roh-roh keluarga dari generasi dahulu
yang bertindak sebagai saksi, dan dewa pelindung yang akan memimpin roh
yang sudah disucikan itu ke surga.
Puncak upacara ialah pada hari ketiga ketika dilaksanakan upacara penyucian (palukaten). Petra-petra
itu ditaruh dalam bejana tanah liat berisi uang logam (Sebagai bekal
kubur bagi roh). Si sepannya, wadah-wadah bambu berisi beras yang di
dalamnya diletakkan gelang tali yang dipakai toh yang sedang disucikan,
kemudian sesajian makanan.
Keluarga orang yang mati duduk di bangku sambil memegang perta
dan ditutup oleh kain putih. Upacara penyucian meliputi menjahit kain
di atas kepala setiap anggota keluarga, dan juga daun pada petra, oleh pendeta. Rambut anggota keluarga dan perta
kemudian dibakar. Seekor bebek dilintaskan di atas kepala mereka
sebelum dilemparkan ke dalam ruangan. Proses itu diulangi dengan memakai
seekor ayam.
Akhirnya pendeta kemudian mengucapkan doa-doa singkat atas setiap orang kemudian tiga kali memutar petra
berlawanan dengan arah jarum jam sebelum menempatkand alam bakul nasi
yang mengepul. Kain putih dilambai-lambaikan di atas kepala anggota
keluarga kemudian roh-roh diperintahkan untuk pergi.
Kini roh orang-orang yang mati dapat pergi ke surga dengan bebas. Petra-petra dibawa ke tempat upacara di desa dan dibakar. Di desa-desa yang sangat kuat dengan tradisi Parisadha, pembakaran petra dirayakan dengan lebih meriah karena memiliki yang kuat dengan gagasan orang Bali mengenai pengabuan mayat.
4. Unan unan
Upacara ini digelar setiap lima tahun sekali atau dalam sistem kalender tengger disebut sewindu. Dalam upacara unan unan
selalu diadakan penyembelihan binatang yaitu kerbau. Kepala kerbau dan
kulitnya kemudian diletakkan pada sebuah tempat yang terbuat dari bambu
untuk diarak ke tempat pemuja.
Seluruh
warga beserta tokoh-tokoh agama dan sesepuh desa dengan berpakaian adat
ikut dalam arak-arakan yang diiringi oleh gamelan dan tarian reog itu.
Doa-doa dan juga mantra dirafal sepanjang perjalanan agar kelancaran
dalam upacara didapat.
Dukun dan Tokoh
adat kemudian melakukan sembahyang dan memantrai air suci. Air suci
inilah yang kemudian dipercikkan kepada seluruh peserta upacara, sebagai
simbol pengusiran sifat jahat dan kesilauan hidup.
Unan unan berasal dari istilah tuna
alias rugi. hal ini berhubungan dengan sistem kalender mereka dan
perhitungan hari sehingga ada hari-hari yang digabungkan sehingga
dianggap tuna, rugi. Unan unan juga merupakan upacara yang
bertujuan mengusir gangguan dari roh-roh jahat dan menyucikan desa dari
malapetaka, dan menyempurnakan kekurangan serta perbuatan yang merugikan
kehidupan.
Perayaan unan-unan ini
biasanya diselenggarakan serentak oleh beberapa desa di lereng gunung
Bromo. Selain itu, ritual unan-unan juga dipercaya dapat menyempurnakan
para arwah yang belum sempurna untuk kemali ke alam asalnya, surga.
Selain upacara, perayaan, dan ritual di atas, juga terdapat upacara lain, seperti upacara Kapat yang
digelar pada bulan keempat menurut perhitungan Saka dan bertujuan untuk
memohon berkah keselamatan serta penyucian terhadap arah mata angin.Upacara Kawalu, yang diselenggarakan pada bulan kedelapan tahun Saka, yang digelar untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan, bintang, dan alam semesta.
Upacara Kasanga, yang jatuh pada bulan sembilan di mana masyarakat akan berkeliling desa membawa kentongan dan obor dan sesaji untuk memohon keselamatan.
Upacara Mayu Desa, yang diselenggarakan untuk melestarikan sumber air, dan terhindar dari bencana. Upacara Pujan Mubeng, Tugel kuncung, Barikan, Liliwet, dan masih banyak lagi.
Dalam peribadatannya, orang Tengger melakukan ibadah di tempat yang mereka sebut punden, danyang dan poten. Poten adalah istilah bagi tempat pemujaan masyarakat Tengger yang beragama Hindu.
Biasanya poten ada pada sebidang lahan seperti pura sebagai tempat berlangsungnya upacara yang terdiri atas beberapa bangunan ditata dalam tata susun/komposisi berdasar tiga Mandala atau zona; Mandala Utama (Jeroan) Mandala Madya (Jaba Tengah) Mandala Nista (Jaba Sisi)
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pengislaman semakin jauh ke pegunungan dekat desa-desa Tengger dan pemerintah mendorong masyarakat memeluk salah satu agama yang diakui. Sebagai tanggapan, muncullah gerakan pembaharuan Hindu di antara orang Tengger tahun 1960-an hingga 1980-an.
Gerakan ini berhubungan dengan Parisadha, yaitu gerakan pembaharu modernis. Gerakan diprakarsai oleh guru-guru dan orang-orang Tengger yang pernah bepergian ke dan yang belajar di Bali. Namun demikian, dinyatakan bahwa tidak seorang pun tokoh pembaruan Hindu Tengger ini memiliki latar belakang pendidikan sebagai pendeta, dan mengenal isi peribadatan yang telah kuna, yang dianggap bukan Hindu.
Pada awal tahun 1970an, salah satu pendeta Tengger yang cukup terpelajar melakukan kajian mendalam tentang doa-doa Tengger dan Bali, menemukan bahwa kedua tradisi itu mempunyai hubungan sangat erat. Sejak itu kebanyakan pendeta dan kepala desa Tengger bersatu mendukung gerakan pembaruan Hindu.
Pejabat setempat memperkenalkan perayaan keagamaan yang diilhami parishada, sembahyang harian di pura, dan pendidikan agama Hindu di Sekolah Dasar, yaitu sebagai usaha membela dan memperdalam tradisi.
Kehadiran gerakan pembaharuan Hindu membantu “memperkenalkan” perayaan keagamaan yang diilhami Parisadha. Perayaan-perayaan itu antara lain meliputi ibadah harian di pura, suatu kebiasaan yang tidak ada dalam tradisi Tengger Sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar