MERU
Menurut mitologinya, Meru
sebenarnya merupakan nama sebuah gunung di Swargaloka. Salah satu puncaknya
disebut Kailasa, yang merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung
tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi Gunung Himalaya di India, Gunung
Mahameru di Jawa, dan Gunung Agung di Bali. Untuk keperluan pemujaan, gunung
suci tersebut lalu dibuatkan replika dalam berbagai bentuk. Seperti meru.
Meru merupakan bangunan suci
yang sangat indah yang dibangun berdasarkan kepada keakuratan proporsi, logika
teknik konstruksi dan keindahan ragam hias, yang berpegang teguh kepada
kearifan local Arsitektur Tradisional Bali (Hasta Kosala Kosali, Hasta Bumi,
Lontar Andha buana, Lontar Janantaka).
Meru merupakan salah satu bangunan
suci bagi umat Hindu di Bali, yang sangat agung, megah dan monumental, sarat
dengan makna simbolis dan kekuatan religious terkandung di dalamnya. Meru
dijumpai pada pura-pura besar di Bali dengan ciri khas, atapnya yang bertumpang
tinggi.
Disamping memiliki bentuk yang
begitu khas maka meru juga memiliki makna, makna dari Meru, dapat kita lihat
dalam kutipan lontar sebagai berikut :
Lontar Andha Bhuana, diuraikan
bahwa arti simbolis atau filsafat Meru sebagai berikut :
“Matang nyan meru mateges, me,
ngaran meme, ngaran ibu, ngaran pradana tattwa, muah ru, ngaran guru, ngaran
bapa, ngaran purusa tattwa, panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak.
Meru ngaran pratiwibha andhabhuana tumpangnya pawakan patalaning bhuana agung
alit”.
Artinya :
Oleh karena itu, Meru berasal dari
kata, me, berarti meme =ibu= pradana tattwa, sedangkan ru, berarti
guru=bapak=purusa tattwa, sehingga penggabungannya dari Meru memiliki arti
batur kelawasan petak (cikal bakal leluhur). Meru berarti lambang atau simbol
andha bhuana (alam semesta), tingkatan atapnya merupakan simbol tingkatan
lapisan alam, yaitu bhuana agung dan bhuana alit”.
Berdasarkan keterangan Lontar Andha
Bhuana bahwa Meru memiliki dua makna simbolis, yaitu Meru sebagai simbolisasi
dari cikal-bakal leluhur dan simbolisasi atau perlambang dari alam semesta.
Lebih lanjut diuraikan bahwa Meru mempunyai dua makna, yaitu:
- Meru sebagai perlambang atau perwujudan dari Gunung Mahameru dan gunung adalah perlambang alam semesta sebagai stana para Dewata, Ida Sanghyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) atau Papulaning Sarwa Dewata. Meru mempunyai makna simbolis dari gunung juga diuraikan dalam Lontar Tantu Pagelaran, Kekawin Dharma Sunia dan Usana Bali. Dalam hal ini,Meru sebagai Dewa Pratista yaitu berfungsi sebagai tempat pemujaan atau pelinggih para Dewa. Meru sebagai Dewa Pratista terdapat dalam komplek Pura-Pura seperti Pura Sad Kahyangan, Kahyangan Jagat dan Kahyangan Tiga.
- Meru melambangkan Ibu dan Bapak sebagaimana diuraikan dalam Lontar Andha Bhuana. Ibu mengandung pengertian Ibu Pertiwi, yaitu unsure Pradana tattwa dan Bapak mengandung makna Aji Akasa, yaitu unsur purusa tattwa. Manunggalnya pradhana dan purusa itulah merupakan kekuatan yang maha besar yang menjadi sumber segala yang ada di bumi. Inilah yang merupakan landasan Meru berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur di komplek Pura-Pura Pedarman Besakih. Dalam hal ini, Meru sebagai Atma Pratista berfungsi sebagai tempat pemujaan roh suci leluhur atau sebagai stana Dewa pitara (suatu roh leluhur dikatakan suci apabila telah melalui proses upacara,yaitu yang pertama ngaben, kemudian menyusul upacara memukur yaitu upacara terhadap atman, dan urutan terakhir adalah ngelinggihang Dewa Pitara. Setelah upacara tingkat terakhir inilah baru dibuatkan Meru Gedong Kemimitan.
Berdasarkan
uraian diatas bahwa Meru memiliki makna sebagai perlambang Gunung Mahameru,
perlambang Tuhan Yang Maha Esa (alam semesta) dan Ibu Bapak (purusa pradana)
berfungsi sebagai tempat pemujaan atau stana para Dewa Dewi, Betara Batari, dan
roh suci leluhur.
Bangunan
meru itu pertamakali digagas oleh Mpu Kuturan atau Mpu Rajakretha Atas hasil pemikiran yang cemerlang
dari beliaulah adanya pelinggih meru di tanah Bali.
Menurut Lontar Tutur Kuturan adalah bentuk meru yang pertama
kali dikenalkan oleh Ida Bhatara Mpu Kuturan di Bali, sekitar abad ke-11. Adalah
Meru tumpang 3.
Bangunan itu adalah simbol ‘Ongkara’ karena simbol Ongkara
sebagai Sanghyang Widhi mempunyai kemahakuasaan:
- Sebagai angka 3 (dalam aksara Bali), di mana 3 adalah: uttpti (kelahiran), stiti (kehidupan), dan pralina (kematian/ akhir)
- Ditambahkan: ardha candra (simbol bulan = satyam), windhu (simbol matahari = rajas), dan nada (simbol bintang = tamas)
- Digunakan untuk memuja Sanghyang Widhi.
2. Meru kemudian berkembang menjadi tumpang: 1,3, 5, 7, 9,
11 disebutkan dalam Lontar
Dwijendra Tattwa sejak abad ke-14 di
Bali.
Meru-meru itu digunakan pula sebagai
niyasa/ simbol ‘pelinggih’ Maha Rsi, Bhatara Kawitan, dan Roh-roh suci, dalam
kaitan pemujaan leluhur, yakni srada ke-2 dan ke-3 dari Panca Srada (Atma
Tattwa dan Punarbhawa)
3. Meru yang tumpangnya genap hanya tumpang 2.
Berdasarkan Lontar Sanghyang Aji
Swamandala, meru ini ditujukan untuk stana Sanghyang Widhi dalam ‘prabhawa-Nya’
sebagai Arda Nareswari (rwa bhineda), pencipta segala sesuatu yang berlawanan
di dunia: laki-perempuan, malam-siang, dharma-adharma, dst
Mengacu pada hal di atas sangat jelaslah bahwa meru
juga merupakan bagian dari konsep penyatuan dalam ajaran siwa sidanta, dimana
dijelaskan meru sebagai pralambang gunung yang ada di swargaloka yang merupakan
stana dari Dewa Siwa.
Dikutip dari berbagai sumber.
Semoga memberi manfaat untuk kita semua
BalasHapussuksema🙏👍
BalasHapusGih
HapusMatur suksme
BalasHapusMatur suksme
BalasHapusMatur suksme
BalasHapus